Sejak Dewasa, Hari Itu Adalah Kali Terbanyak Air Mataku Keluar


23 November 2025. Senja di penghujung tahun, sebuah jeda yang begitu berbeda dari ritme waktu yang kukenal. Sebuah kanvas hari yang tertumpah ruah oleh air mata—bukan hanya dari duka yang mengiris, tapi juga dari suka yang menghangatkan. Sejak fajar, aku kembali diingatkan pada makna sebuah kebersamaan; rasa yang belakangan ini terasa samar dan menjauh. Di tengah keramaian itu, meski beban hidup terasa menghimpit, seperti gunung yang menanti letusan, ada selingan kehangatan yang meredam segalanya, membuat duri masalah seolah menghilang, walau ku sadar, hanya sesaat. Cukuplah jeda itu untuk menutup penat yang menguasai jiwa.

Namun, sepulang dari pelukan kebersamaan, panggilan tanggung jawab dan empati kembali mendera. Lelah itu menjalar, karena sejatinya aku hanya manusia biasa, terlepas dari label 'hebat' atau 'baik' yang disematkan orang lain. Puncaknya, masalah itu seolah menjadi cambuk. Sepanjang perjalanan—baik saat berangkat maupun kembali—air mata itu tak tertahankan, tumpah ruah karena masalah 'bajingan' itu terlalu kejam menekanku.

Malam tiba, dan aku harus menunaikan janji terberat: menyudahi perjuangan hati yang selama ini terasa berat sebelah, sebuah 'cinta bertepuk sebelah tangan'. Aku menghampirinya, tidak hanya untuk menuangkan rasa suka yang biasa ku sampaikan, tapi juga untuk menumpahkan duka yang terpendam. Kuberbisik, hati yang sudah retak ini terasa semakin dipukul oleh rasa tak dihargai, terutama pada pertemuan terakhir di Bogor itu. Rasanya seperti ditikam dari belakang, saat aku mati-matian berjuang demi sesuatu yang ku kira akan berbuah manis.
Dengan suara tercekat, kusampaikan akhir dari babak perjuangan ini—keputusan yang sangat menyakitiku, mengingat segala upaya dan 'effort' yang telah kupersembahkan hanya untuk mendekat. Setiap kata perpisahan yang keluar, terasa seperti pukulan batu besar di dada. Di hadapan wanita yang kucintai, untuk kali pertama, aku menangis tanpa ditahan. Air mata tumpah karena betapa dalam rasa ini, meskipun ia telah menegaskan bahwa kondisi kita adalah jurang pemisah. Kuantar ia pulang, dengan pelukan terakhir yang seolah menjadi penawar sekaligus racun: menenangkan beban sejenak, namun memberatkan di sisi lain, sebab saat ia turun dari motor itu, tirai telah tertutup. Aku menangis sepanjang jalan, hatiku hancur berkeping-keping.


Di tengah reruntuhan hati dan puncak badai masalah, aku mencari oasis, mencari jawaban. Aku tiba di Depok Open Space, sebuah tempat ironi di mana banyak pasangan muda merayakan akhir pekan mereka. Aku terdiam, air mata kembali mendesak keluar, namun harus kutahan demi mencari celah solusi. Di sanalah, aku bertemu sosok yang tak pernah kupercaya eksistensinya: 'malaikat tanpa sayap'. Aku tumpahkan segala beban, menangis deras karena merasa buntu. Ia menolongku, meringankan beban, dan menyadarkanku akan kealpaan spiritual. Aku berlutut, shalat di masjid yang hampir tutup, mengangkat tangan sambil terisak. Aku menangis, karena Tuhan yang selama ini kujauhi, ternyata masih memelukku dengan begitu peduli.


Hari itu, aku pulang bersama rembulan baru. Sebuah siklus telah usai, ditutup oleh tetesan air mata terbanyak yang pernah kurasakan sejak beranjak dewasa. Hari yang bermula dengan kebersamaan, ditutup dengan perpisahan yang mengoyak, namun berujung pada penemuan kembali yang memulihkan. Aku membawa pulang rasa senang dan sebuah kebanggaan karena telah berhasil merangkai sebagian solusi untuk beban hidup yang menghimpit, dan kembali mendekat pada Tuhan. Namun, air mata itu adalah saksi: meski beban masalah duniawi terasa ringan, kehancuran hati karena perpisahan itu masih mengakar dan belum terobati. Jiwa ini basah oleh tangis, tapi hati ini kini lebih sadar, dan siap untuk menyambut fajar dengan sisa-sisa perih yang akan kujadikan kekuatan.

Post a Comment

Previous Post Next Post