Malam ini terasa aneh, berbeda dari ratusan malam sebelumnya. Ada keheningan yang lebih dalam, dingin yang menggelitik masuk tanpa izin, menusuk hingga ke dalam tulang. Aku hanya duduk diam, terjebak oleh apa yang baru saja kubaca atau mungkin, oleh apa yang kau tulis. Oleh kesunyian yang terlalu lama, oleh jawaban yang tampak kosong.
Napas terasa tertahan di tenggorokan.
Pikiran berputar, berseru, tapi mulutku tertutup rapat. Aku bingung harus melakukan apa. Haruskah aku bertanya, "Kenapa?" Haruskah aku minta balasan yang pasti? Tapi, atas dasar apa?
Ada rasa sakit yang menyalah di dada, nyeri yang menjalar hebat.
Tapi aku tak punya hak merasa terluka. Aku hanya boleh menerima apa yang kau beri, lalu kembali berada di pinggir saat kau sibuk dengan urusanmu. Ada luka tajam yang menusuk, tepat di bagian hati. Tapi aku tak boleh mengeluh. Aku harus tetap tersenyum, seolah sikapmu tak pernah menyakiti harapanku.
Sialnya, ini perasaan cemburu.
Dan lebih sialnya lagi, aku tak berhak merasakannya. Bukan, ini bukan cemburu pada orang lain. Aku cemburu karena sikapmu. Karena caramu membuatku terasa seperti pilihan terakhir, seperti catatan kecil yang tak perlu dibaca. Aku cemburu pada duniamu yang begitu ramai, yang membuatku terasa begitu kecil dan tak bermakna. Aku cemburu pada betapa mudahnya kau membuatku merasa... tak terlihat.
Benar, siapa aku di hadapanmu? Hanya sebuah nama yang singgah sementara untuk mengisi kesunyianmu? Atau hanya bayangan yang tak pernah kau anggap nyata, yang cuma terlihat samar saat kau butuh teman bicara? Aku tak mengerti mengapa hatiku begitu berani. Berani mengharapkan tempat utama, padahal untuk sekadar dianggap "ada" saja rasanya begitu sulit.
Semua kata yang pernah kucurahkan, Semua isyarat yang terucap pelan, Semua usaha untuk membuatmu melihatku lebih dari sekadar bayangan, Seolah hanya memantul di dinding bisu dari sikap acuhmu.
Aku berteriak dalam gema yang kuciptakan sendiri, tapi suaraku tak pernah sampai ke telingamu.
Semuanya hanya diam.
Kembali, aku menatap kosong pada kenyataan pahit: Bahwa tak pernah ada lanjutan. Dan mungkin, dari sikapmu itu, memang tak akan pernah ada.

Post a Comment